GAUNG new normal semakin hari nyaring terdengar, terutama dalam bidang ekonomi, seperti di pelaku pariwisata dan jasa perdagangan. Hal itu bukan tanpa alasan. Maklum saja, sejak Covid-19 melanda dunia, dan dinyatakan sebagai pandemi, termasuk di Indonesia, perekonomian dan sendi kehidupan masyarakat seperti babak belur. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) mengalir deras, seperti tiada henti.
Sejak kalimat new normal atau normal baru terlontar pada awal bulan ini, masyarakat luas menyambutnya dengan sukacita, meski ada yang pro dan kontra dengan pemberlakuan tatanan normal baru tersebut. Setuju karena ekonomi harus kembali pulih, namun tidak sedikit yang kontra karena sikap masyarakat dinilai belum mampu untuk memasuki new normal dengan sejumlah tata aturan baru, serta kesadaran diri secara disiplin.
Memang tidak mudah. Pemerintah Daerah (Pemda) DIY juga saat ini sepertinya masih wait and see, menunggu dan melihat situasi terkini perkembangan Covid-19 dalam rencananya memasuki new normal. Bahkan, Wakil Gubernur DIY Sri Paduka Paku Alam X mengakui jika tidak ada dikotomi antara ekonomi dan kesehatan, karena keduanya saling terikat dan terkait, sehingga perlu pertimbangan matang dalam memasuki new normal.
Imbas adanya pandemi Covid-19 memang harus diakui jika pada saat ini kita menghadapi perubahan tidak mudah, perubahan sosial disebut social change dalam artian sangat signifikan. Untuk itu, barangkali yang terbaik adalah prepare your self to espect for the best but prepare to the worst. Menyiapkan yang terbaik, tetapi juga menyiapkan pula menghadapi situasi yang terburuk saat memasuki new normal.
Setiap perubahan membawa konsekuensi kemungkinan, seperti perubahan yang menimbulkan kesempatan-kesempatan baru bagi kita. Tapi kesempatan yang baru itu harus diikuti dengan persoalan-persoalan baru. Ini yang tadi penulis maksud, karena perubahan itu membutuhkan kepekaan kita untuk membaca, melihat, memanfaatkan kesempatan dan bersiap mencegah terjadinya persoalan-persoalan baru. Karena hidup juga perubahan. (*)