Siarpedia.com, Yogyakarta – Kebijakan kondisi kedaruratan masih sering bermasalah dan melahirkan beragam polemik. Di antaranya menyangkut polemik tentang landasan atau kriteria terkait pertimbangan bagaimana memutuskan kondisi mana yang bisa dikategorikan darurat, juga mana yang tidak. Keputusan situasi kedaruratan secara politis seringkali dilakukan secara sepihak oleh kewenangan eksekutif sebagai penyelenggara kekuasan negara.
Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi dan Multimedia (Fikomm) Universitas Mercu Buana Yogyakarta (UMBY) Dr St Tri Guntur Narwaya Msi mengemukakan hal itu dalam Fikomm UMBY Berbagi Ilmu seri 3 secara daring atau dalam jaringan dengan tema ‘ Wabah, Demokrasi & Batas Politik Kedaruratan’. Acara ini diikuti oleh ratusan masyarakat awam melalui aplikasi zoom meeting maupun streaming youtube Mercu TV Yogyakarta.
“Kebijakan ini seringkali bersifat resmi, sehingga pertimbangan kedaruratan lebih banyak bersifat politis,”
Sebagaimana disampaikan Kabag Humas UMBY Widarta SE MM, Senin, 15 Juni 2020, Tri Guntur Narwaya mengatakan, jika landasan kriteria seringkali juga merujuk pada pertimbangan-pertimbangan yang tidak terbuka untuk dikomunikasikan dengan pelibatan partisipasi dan pertimbangan publik secara luas. “Kebijakan ini seringkali bersifat resmi, sehingga pertimbangan kedaruratan lebih banyak bersifat politis,” ujarnya.
Dalam jangka panjang, normalisasi pelembagaan kebijakan kedaruratan ini kemudian seringkali tidak mudah dikontrol. Bahkan konsekuensi batas-batas dan kriteria tentang kedaruratan juga tidak tergambar jelas. Ia menyatakan, beragam kebijakan yang muncul dalam kondisi kedaruratan saat pandemi Covid-19 ini, di antaranya adalah kebijakan lockdown atau kuncitara, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Juga ada himbauan stay at home dan juga Work from Home (WFH), pembatasan akses berdiskusi, berkumpul dan bermobilitas warga, penutupan pelayanan publik, penghentian transportasi umum, pemberlakuan peretasan data pribadi terutama kebutuhan untuk mendeteksi mobilitas orang-orang yang bestatus positif virus, dan juga tentu saja polemik yang paling sensitif misal perihal pembatasan aktifitas keagamaan (peribadahan). (*)