Stop Beri Stigma pada Jenazah Covid 19

Oleh : dr Agus Widiyatmoko SpPD MSc
PANDEMI COVID-19 atau Coronavirus disease telah menjadi perhatian utama bagi masyarakat dunia, termasuk warga DIY. Di Indonesia, sejak terdeteksinya dua kasus pasien terjangkit COVID-19 pada 2 Maret 2020, kini telah bertambah menjadi 4.557 kasus positif, dan 399 meninggal dunia per 13 April 2020. Peningkatan angka kesakitan dan kematian akibat COVID-19 tersebut telah meningkatkan kewaspadaan secara signifikan di masyarakat.
Meningkatnya kesadaran tersebut sangatlah baik, jika dibandingkan sikap umum masyarakat pada sebelum 2 Maret 2020. Sayangnya, kewaspadaan baru tersebut kemudian memunculkan keresahan dan ketakutan berlebihan di beberapa komunitas. Di beberapa komunitas masyarakat Indonesia tercipta stigma terhadap korban meninggal akibat COVID-19. Stigma tersebut mengakibatkan kesalahpahaman terkait pemulasaraan jenazah korban COVID-19.
Telah terlalu banyak kasus penolakan pemakaman jenazah korban COVID-19 di beberapa daerah di Indonesia, seperti kasus terbaru yang terjadi di Semarang. Kasus-kasus tersebut menimbulkan banyak kegaduhan, serta korban kesehatan mental dan sosial bagi keluarga yang sedang berduka dan banyak masyarakat yang turut berempati. Kegaduhan ini menjadi hambatan, sekaligus ancaman tambahan bagi upaya penanggulangan COVID-19.
Menyikapi penolakan jenazah di sejumlah daerah tersebut, kita perlu memahami terlebih dahulu jika jenazah berstatus ODP, PDP, maupun positif COVID-19 diperlakukan serupa halnya dengan korban meninggal positif COVID-19. Hal ini dikarenakan hasil tes pasien ODP dan PDP yang sudah meninggal dunia kemungkinan belum keluar, sehingga belum bisa ditetapkan negatif COVID-19. Kewaspadaan tetaplah penting.
Namun, pasien PDP memiki risiko besar mendapatkan hasil positif COVID-19. Untuk meminimalisir risiko penyebaran virus, jenazah pasien ODP dan PDP diperlakukan sama dengan jenazah pasien positif COVID-19. Tenaga medis yang berhubungan langsung dengan jenazah juga memiliki risiko untuk tertular virus COVID-19, sehingga saat pemulasaraan jenazah harus ada protokol khusus, seperti pemakaian alat pelindung diri (APD).
Karena virus tetap ada melalui cairan tubuh jenazah, dan protokol khusus menjadi sangat penting dalam penanganan jenazah pasien COVID-19. Dimulai dari tenaga medis yang sudah terlatih, menggunakan APD lengkap, hingga proses pemulasaraan jenazah untuk menghambat serta mencegah penyebaran virus. Proses pemulasaraan ini menggunakan protokol ketat untuk meminimalisir resiko penyebaran virus COVID-19.
Dimulai dari proses jenazah yang tidak dimandikan dan langsung dikafani bagi jenazah yang beragama Islam, kemudian dibungkus dengan plastik, disemprotkan disinfektan hingga menggunakan peti khusus yang direkatkan menggunakan lem agar saat penguburan jenazah sudah tidak perlu dibongkar lagi. Jenazah COVID-19 ketika sudah dikuburkan virusnya juga akan mati karena di tubuhnya sudah tidak lagi mengandung oksigen.
Kepada masyarakat untuk tidak menolak jenazah yang akan dikuburkan. Karena pada dasarnya jenazah betul-betul sudah dipersiapkan sebaik mungkin untuk tidak menulari orang yang bersentuhan secara langsung, dan juga tidak menulari orang-orang yang berada di sekitarnya. Masyarakat harus paham adanya protokol yang kurang manusiawi ini menjadikan keluarga korban tidak dapat melihat langsung selama proses pemulasaraan jenazah.
Karena itu, mengapa jenazah diperlakukan sesuai protokol khusus, dan pemakamannya pun secara khusus. Hal ini dalam rangka jangan sampai virus ini menyebar kepada orang yang masih hidup. Mari hargai protokol yang sudah dibuat oleh ahli agar virus tidak menyebar. Selain itu, yang menjadi berbahaya adalah jika adanya perkumpulan banyak orang untuk penolakan jenazah, bisa jadi antar mereka dapat memiliki resiko penularan COVID-19. (*)