Bencana Alam dan Kita
INDONESIA dikenal sebagai negara agraris, kaya dengan sumber daya alam (SDA), juga dengan keindahan panoramanya. Dari hamparan hijaunya sawah dan ladang, pantai yang berbibir pasir putih dengan berselimutkan dua gelombang Samudera Pasifik-Hindia, serta angin yang berembus lirih dari dua benua Asia dan Australia, serta luasnya lautan samudra beserta keindahan bukit maupun gunung menjulang tinggi yang menghias langit di nusantara.
Namun dibalik keindahan dan kekayaan tersebut bukan tanpa risiko atau potensi bencana bagi siapa saja yang menghuninya, karena kita berada pada jalur cincin api dunia atau yang lebih dikenal ring of fire, sebuah jalur tempat dan berkembangnya gunung api yang juga berhimpitan dengan jalur gempa bumi teraktif di dunia. Ancaman atau potensi bencana mulai dari, banjir, tanah longsor, tsunami hingga letusan gunung berapi yang mematikan juga mengintainya.
Kita memang ditakdirkan tinggal di negeri yang indah dan kaya raya, sekaligus memiliki potensi bencananya yang siap datang setiap saat. Namun apakah kita juga telah siap dengan kedatangan tamu tak diundang, atau tamu yang disebut bencana alam atau musibah tersebut. Sayangnya, dari awal kita telah mengetahui potensi bencana alam datang setiap saat, namun mitigasi bencana sepertinya masih tambal sulam. Memasuki 2020 ini saja, sejumlah bencana alam, dari banjir di Jakarta dan sejumlah daerah di nusantara masih terjadi. Bahkan, tidak menutup kemungkinan sepanjang tahun ini diprediksi bencana akan selalu menyapa kita, maka penguatan mitigasi bencana harus dilakukan agar tak kembali mengulangi kesalahan yang sama.
Secara ekologis dan historis, tak ada alasan untuk tak memperkuat mitigasi bencana. Pengurangan risiko bencana sejak dini, mulai dari proses edukasi bencana yang intens pada masyarakat, membangun rumah yang tahan bencana, pendeteksi dini terjadinya tsunami dan gempa perlu dipikirkan. Kematian memang takdir Tuhan yang tak bisa ditawar, tapi upaya saintifik adalah kewajiban setiap manusia untuk menekan korban bencana akibat kelalaian manusia. Pada dasarnya tidak semua bencana alam berangkat dari faktor alam an sich, tapi gaya hidup konsumtif dan hedonis menggiring manusia menjadi agresif, rakus, tamak yang mempercepat terjadinya bencana.
Dengan demikian di samping kita berharap ada kebijakan strategis dari pemerintah berkaitan mitigasi bencana dan antisipasinya, kita juga butuh langkah taktis dalam keseharian hidup kita untuk mengubah pola hidup yang konsumtif dan hedonis. Kita harus memulai dari diri dan keluarga kita untuk hidup lebih sederhana dalam keseharian. Kita harus mulai mengurangi penggunaan plastik yang berlebihan karena kita termasuk negara penyumbang sampah plastik terbesar nomor dua di dunia setelah Cina. Kita jangan pernah mengubah lahan produktif pertanian untuk dijadikan perumahan atau industri lain, serta ragam sikap keseharian yang menyalahi kodrat alam kita. (*)